KESETIAAN: PROSES MENJADI ILAHI (Dari Kisah Maria dan Dewi Kunti)

Kunti dan Maria memang berbeda. Maria adalah toko historis dalam tradisi kekristenan sedangkan Kunti dalam tradisi hindu hanyalah tokoh dalam Epos kisah perjalanan hidup para Pandawa. Meskipun demikian, kedua tokoh ini –terlepas dari adanya fakta historis atau tidak – menampilkan sebuah potret keibuan atas tokoh – tokoh yang memiliki pengaruh dalam tardisi hindu maupun tradisi katolik. Maria dan Kunti juga sama-sama memiliki kesamaan dalam menampilkan figure seorang ibu yang setia berada di sisi perjalanan hidup putera mereka.

Salah satu keutamaan yang kiranya dapat dipakai untuk mendialogkan kedua tokoh ini dan menemukan pesan yang sama untuk mengarah pada sebuah refleksi ialah tentang kesetiaan yang dimiliki keduanya. Maria dan Kunti sama-sama menampilkan Kesetiaan sebagai sebuah harga mati yang tak bisa ditawar dengan nilai-nilai apapun atau tak dapat dikompromikan dengan pertimbangan-pertimbangan manusiawi apapun. Dalam banyak pengalaman, Maria dan Kunti sama-sama ditantang untuk mempertaruhkan kesetiaan mereka, tetapi oleh karena itu telah menjadi harga mati sehingga tak bisa dikompromi.
Hal yang akan menjadi sangat istimewa ketika merenungkan dan mendialogkan kesetiaan dalam kedua tokoh ini adalah memahami apa itu kesetiaan. Jika kesetiaan itu hanya sampai pada pengalaman untuk memilih satu nilai yang dianggap lebih penting dari nilai yang lainnya dan keputusan untuk terus berpegang pada nilai itu, tentu saja tidak ada yang istimewa pada kedua figure ini baik Maria maupun Kunti. Lalu apakah kesetiaan itu ?

Dewi Kunti Dalam Mahabrata.
Siapakah sesungguhnya Dewi Kunti itu? dalam epos mahabrata dikisahkan bahwa Dewi Kunti adalah wanita yang menjadi ibu bagi para pandawa dan Karna. Dalam mahabarta memang dikisahkan bahwa Kunti adalah istri darti raja Pandu, raja kerajaan astinapura yang kemudian diperbutkan oleh pandawa dan kurawa. Namun, baik Karna maupun para pandawa bukanlah buah hati Kunti yang dilahirkan dari Pandu. Pandu dikisahkan sebagai pria yang tidak dapat memberikan keturunan bagi kunti.
Dikisahkan bahwa sejak kecilnya, Kunti telah dikenal karena kecatikan dan lehuruan budinya. Suatu ketika, Kunti kecil melayani seorang tamu yang sedang berkunjung ke rumahnya dengan penuh perhatian, kesabaran dan bakti. Tamu yang kemudian diketahui bernama Resi Durwasa itu bahkan sempat tinggal untuk beberapa waktu di rumah Kunti, dan Kunti melayaninya dengan penu cinta kasih. Karena keutamaannya ini, Kunti dianugerahi mantra yang dapat digunakan untuk memanggil dewa yang ia kehendaki untuk memberinya seorang anak. Selanjutnya putera-putera Kunti memang tidak dilahirkan dari raja Pandu. Pandu meminta Kunti menggunakan mantra itu utuk mendapatkan keturunan bagi mereka.
Dalam epos ini, Kunti ditampilkan sebagai wanita cantik dan memiliki kebaikan hati. Manusia bijaksana dalam jaman manapun tentunya akan tertarik pada kebaikan hati. Meskipun demikian, Kunti tetap memilih setia hanya kepada Pandu, suaminya yang tak mampu memberinya keturunan itu. dan kita pantas untuk tetap mengagumi kesetiaan Kunti ini dalam membimbing para puteranya, pandawa.
Kesetiaan dewi Kunti sebagai seorang ibu terhadap anak-anaknya juga terungkap dalam kisah tragis di Balai Sigala-gala. Ketika para pandawa hendak dibunuh oleh para kurawa dalam balai itu, ia turut mengikuti kelima anaknya dalam balai yang terbakar hebat. Dengan pertolongan batara Antaboga, mereka dapat selamat dari pengalaman tragis itu. Kesetiaan Kunti bahkan diuji dalam pengalaman pembuangan yang dialami para puteranya. Ketika para puteranya harus menjalani masa pembuangan selama tiga belas tahun di tengah hutan, dewi Kunti bahkan dengan berani mengambil keputusan untuk turut serta bersama para puteranya itu dalam masa pembuangan. Dewi Kunti yang adalah istri raja Pandu itu harus turut bersama anak-anaknya dalam masa pembuangan selama tiga belas tahun. Selama itu pula dia setia menemani putera-pouteranya dalam pengalaman gelab dan menyakitkan.
Kesetiaan Kunti tidak hanya sampai di situ saja. Bahkan dalam perang besar Bharatayuda antara para pandawa dan kurawa yang kemudian dimenangkan oleh pandawa, Kunti masih setia menemani para puteranya. Setelah merasa tugasnya telah selesai, Kunti menarik diri dari hiruk pikuk kerajaan dan memilih untuk bertapa di hutan. Akibat musim kemarau yang hebat, hutan tempat ia bertapa, mengalami kebakaran hebat sehingga ia tewas menjadi abu. Dalam semadinya, dewi Kunti berdoa kepada para dewa memohon keselamatan bagi anak dan cucunya.

Maria, Perawan yang Setia
Seluruh perjalanan hidup Maria menampilkan seorang pribadi yang memiliki di dalam dirinya teladan kesetiaan. Sejak kalimat yang diucapkan di hadapan malaikat Gabriel. Jawaban hamba yang diberikan Maria kepada utusan Allah itu merupakan sebuah uangkapan kesadaran dirinya untuk taat pada kehendak Allah dan segala hal yang terjadi di dalam hidupnya sebagai konskuensi pilihan untuk taat itu. Pilihan menjadi hamba Tuhan tidak hanya menuntut Maria untuk taat pada kehendak Allah melainkan juga setia melakukan kehendak Tuhan di dalam hidupnya.
Kesetiaan Maria kepada kehendak Allah tidak hanya terungkapkan dari jawaban verbal. Seluruh hidup dan keputusan Maria merupakan jawaban yang kuat untuk setia kepada kehendak Allah. Maria tidak hanya sampai pada jawaban “YA” secara verbal tetapi kemudian juga terungkap dari ketaatannya untuk melahirkan putera Allah yang menjadi manusia dan kemudian dengan setia pula memelihara dan membesarkannya. Menjadi seorang ibu pada usia yang sangat muda bukanlah hal yang tidak memiliki tantangan. Namun tantangan tidak menghalangi kesetiaan Maria untuk merawat, melahirkan dan membesarkan Yesus.
Maria tetap setia kepada kehendak Allah yang nyata dalam Puteranya itu. ketika puteranya di tengah dunia karya, Maria dengan setia datang menemuinya. Ia tidak memikirkan segala kesibukannya melainkan melupakan semuanya itu dengan lebih memilih untuk mendampingi puteranya. Bukankah Maria telah setia di sisi puteranya sejak kecil ? jadi tidak mungkin Maria meninggalkanNya sendiri di tengah medan karya.
Hidup Yesus bukan hanya untuk berkarya melalui pewartaan melainkan juga melalui kerelaan mengambil bagian dalam penderitaan dan salib. Pengalaman salib ini bukan hanya menjadi pengalaman Yesus melainkan juga pengalaman maria yang sejak awal telah memilih untuk setia. Bahkan di dalam pengalaman ini pun, Maria tetap tampil sebagai ibu yang setia mendampingi Yesus dalam pergulatanNya. Maria tidak seperti mereka yang lain, yang lari meninggalkan salib melainkan dengan setia mengikuti jalan salib hingga berdiri di bawah salib.
Kesetiaan Maria boleh saja dilihat sebagai salah satu keutamaan yang ada pada dirinya dan membuat diamini sebagai wanita yang disebut berbahagia oleh sekalian bangsa. akan tetapi lebih dari sekadar keutamaan yang ada pada dirinya, kesetiaan menjadi bagian dari hidup Maria yang menemani perjalanannya menjawab panggilan Allah.
Dalam perjalanan gereja dewasa ini, kesetiaan Maria bukan hanya menyangkut ketataan kepada kehendak Allah melainkan juga kesediaan yang terus menerus untuk menjadi pengantara rahmat Allah kepada anak-anak manusia. Manusia dari jaman ke jaman masih saja menikmati rahmat Allah yang dikaruniakan dengan perantaraan Maria. Maria menjadi wanita yang setia untuk menjadi pengantara setiap doa dan harapan manusia.

Kesetiaan: bagian dari perjalanan hidup menuju keilahian
Sungguh disadari bahwa setiap manusia dipanggil menuju keilahian. Apapaun yang menjadi pengalaman manusiawi tidak lain harus menjadi pengalaman yang menghantar pribadi yang bersangkutan untuk bersatu dengan sang Pencipta yakni Sang Keilahian itu sendiri. Meskipun Maria adalah tokoh historis dalam tradisi kekristenan sedangkan Dewi Kunti hanya hidup di dalam epos mahabrata, namun kedua wanita ini patut dijadikan teladan kesetiaan.
Hal pertama yang dimiliki keduanya adalah kesetiaan yang menghantan mereka juga pada tujuna hidup yang sama yakni keilahian. Akhir dari perjalanan hidup Maria di dunia ini adalah dengan pengangkatannya ke surga dengan jiwa dan raganya. Ini bukan pertama-tama tentang fakta historis melainkan ungkapan iman yang mendalam tentang Maria. Kehidupan wanita ini sunggguh sebuah kehidupan yang istimewa dan terluput dari dosa duniawi. Kekudusan maria selama hidupnya, membuat dia diimani sebagai wanita istimewa yang dikaruniai pengangkatan ke Surga. Selain itu juga kesetiaannya sebagai bunda kepada Yesus di dunia ini tidak dapat dihentikan begitu saja oleh persoalan-persoalan ataupun pengalaman-pengalaman duniawi melainkan kesetiaan itu adalah kesetiaan untuk selama-selamanya. Kesetiaan keduanya tidak lain adalah ungkapan cinta yang mendalama antara ibu dan anak. Itu sebabnya juga, pengalaman-pengalaman duniawi bahkan tak mampu memisakan cinta yang mesra antara ibu dan anak ini. Maka pengangkatan Maria ke surga juga merupakan buah dari kesetiaannya kepada sang Putera.
Demikian pun halnya dengan dewi Kunti dalam kisah Mahabrata. Sejak awal kisahnya dalam epos yang besar ini, tidak ada satu episode pun dimana Kunti ditampilkan sebagai wanita antagonis. Kunti selalu ditampilkan sebagai wanita bijaksana yang memilki di dalam dirinya keutamaan- keutamaan yang memikat hati siapa saja bahkan hati para dewa. Kunti dengan ramah melayani seorang musafir yang mampir ke tempat tinggalnya dan memberinya makan. Sebagai ibu, dia juga ikut ambil bagian dalam pengalaman-pengalaman buruk yang dialami puterannya. Seluruh perjalanan hidupnya merupakan kesetiaan untuk melakukan kehendak para Dewa.
Sama seperti istimewanya kisah akhir hidup Maria di dunia ini, epos Mahabrata juga menggambarkan akhir kisah hidup kunti secara istimewa. Kunti meninggal ketika hutan tempat ia melakukan tapa brata mengalami kebakaran yang hebat karena kemarau yang panjang. Kunti meninggal ketika ia sedang melakukan tapa brata atas kehendak para dewa. Meskipun menyedihkan namun, akhir hidup Kunti justru menjadi kekaguman para pembaca mahabrata sebab ini menjadi bagian dari perjalanan kehendak para dewa.
Dari pengalaman dewi Kunti dan Maria, akhirnya kesetiaan bukan sekadar keutamaan yang mereka miliki melainkan juga proses di dalam mana mereka terlibat menuju keilahian. Keilahian dalam konteks Kunti adalah ketika ia mengalami persatuan dengan para dewa dalam tapa bratanya dan bahkan wafat dalam keadaan tapa itu. sedangkan bagi Maria, Keilahian dialaminya dengan pengangkatannya ke Surga dengan Mulia.
Maka, belajar memiliki kesetiaan terhadap penggilan dan perutusan tidak lain adalah belajar berproses menjadi manusia Ilahi sebagaimana Kunti dan Maria. Kita tentu saja dapat memulainya saat ini dalam penghayatan harian kita sebagaimana Kunti dan Maria juga menghayatinya dalma hari-hari hidup mereka. Kesetiaan terhadap tugas atau tanggung jawab sehari-hari kemudian akan menjadi bagian dari usaha belajar menjadi pribadi Ilahi.
Keilahian itu tidak baru akan dialami nanti. Keilahian itu justru sudah dapat mulai diusahakan hari ini melalui keutamaan-keutamaan hidup. Untuk memiliki keutamaan hidup sebagai bagian dari proses menuju keilahian tentunya perlu usaha yang terus menerus, bukan usaha yang hanya dapat dilakukan sekali. Kunti dan Maria pun mengalami aneka godaan untuk menjadi tidak setia. Akan tetapi, hati yang teguh membuat mereka mampu menjadi pribadi-pribadi yang tetap setia hingga akhir hidup mereka. Justru kesetiaan yang sampai akhir itulah yang membuat mereka mampu masuk dalam pengalaman keilahian.

Kesetiaan Maria: pengilahian manusia
Meskipun dengan membandingkan kedua tokoh ini, namun saya tidak hendak menyamakan keduanya. Dalam hal penghayatan kesetiaan, Kunti boleh saja disamakan dengan Maria. Akan tetapi dalam konteks iman kita sebagai pengikut Kristus dan anak-anak Maria, lantas kesetiaan Maria bukan hanya menjadi jalan bagi Maria untuk menjadi semakin Ilahi melainkan juga sarana bagi manusia-manusia di dunia ini menuju pengilahian diri.
Setelah Maria mengalami keilahian oleh keutamaan kesetiaan yang dihayati sepanjang hidupnya, Maria jsutru mendapat tugas selanjutnya dari Tuhan untuk menjadi sarana bagi manusia dalam berproses menuju keilahian. Dalam injil Yohanes, ketika Yesus menyerahkan Yohanes, murid yang dikasihi-Nya kepada Maria untuk menjadi anaknya (bdk, Yoh 19: 26 – 27), Maria pada saat yang sama menerima tugas untuk menjadi ibu bagi anggota-anggota gereja. Mengapa gereja? Sebagai mempelai Kristus tentu saja Kristus sengat mengasihi gereja-Nya. Maka kehadiran Yohanes (murid yang dikasihi Yesus) dan Maria di bawah salib tidak lain menjadi lambang kehadiran Maria dan gereja di bawah salib.
Maka, di bawah salib, Maria mendapat tugas baru yakni mendidik mempelai Kristus yang tak lain adalah gereja itu sendiri agar oleh keutamaan-keutamaan hidup seperti yang dimiliki Maria, gereja juga mengalami proses pengilahian dirinya. Namun demikian, usaha ituhanya dapat tercapai manakala setiap anggota gereja mau terbuka menerima Maria dan menyerahkan diri untuk dibimbing oleh keutamaan-keutamaan ibu yang setia ini.
Dari refleksi ini jelaskah bahwa kesetiaan Maria bukan hanya jalan bagi dirinya untuk menjadi pribadi yang mengalami pengalaman keilahian melainkan juga menjadi sarana bagi manusia-manusia lain untuk masuk dalam pengalaman keilahian. Dengan merenenungkan dan menghayatio kesetiaan Maria, pada saat yang sama Maria menjadi ibu bagi mereka dalam menghidupi kesetiaan itu sehingga setiap mereka mengalami pengalaman keilahian sebagaiamana juga yang telah dialami maria.
Lalu kapan manusia bisa mengalami pengalaman keilahian sebagaimana yang juga telah dialami Maria ? kita bisa belajar dari pengalaman Yohanes dan Maria di bawah salib. Arti amanat Yesus dalam Yohanes 19: 25 – 27, Yohanes sebagai murid yang dikasihi Yesus tidak tinggal diam. Dikatakan dalam perikop yang bersangkutan bahwa sejak saat itu, Yohanes menerima Maria dalam rumahnya. Seperti Yohanes, kita pun diundang untuk menerima kehadiran Maria dalam setiap pengalaman kita dan belajar padanya untuk menjadi pribadi yang setia pada kehendak Allah. Hanya ketika itulah, kita masuk dalam pengalaman kesetiaan Maria yang telah lebih dahulu membuat dirinya menjadi ilahi dan kemudian membantu kita juga untuk menjadi pribadi yang ilahi sebagaimana yang dialami Maria. *Wawan, SMM

Daftar Pustaka

Kresna, Ardian., Mengenal Wayang, Yogyakarta: Laksana, 2012
McBridge, Alfred., Images Of Mary, Jakarta: OBOR, 2004
Montfort, Louis Marie Grignion., Bakti Sejati Kepada Maria, Bandung: SMM, 2009
_____ ., Rahasia Maria, Bandung: SMM, 2009
Rajagopalachari, MAHABHARATA, penterj. Yudhi Murtanto Jogjakarta: DIPTA, 2013
Stinissen, Wilfried., Maria Dalam Kitab Suci Dan Dalam Hidup Kita, Malang:
Dioma, 2005
http://id.wikipedia.org/wiki/Mahabharata.

Leave a comment